JakartaBicara (MSM Network), Jakarta – Ekologi Sufisme adalah konsep yang menghubungkan prinsip-prinsip spiritual sufisme dengan kesadaran lingkungan . Dalam tradisi sufisme, alam dipandang sebagai cerminan dari Sang Pencipta, di mana setiap elemen alam menunjukkan tanda-tanda keagungan Tuhan.
Salah satu ajaran utama dalam sufisme adalah konsep “tauhid” atau kesatuan. Dalam konteks ekologi sufisme, tauhid menekankan bahwa semua makhluk hidup adalah bagian dari satu kesatuan yang terhubung oleh kasih Tuhan.
Manusia, hewan, tumbuhan, dan unsur alam lainnya semua terjalin dalam satu jalinan kehidupan yang saling bergantung. Pandangan ini mendorong manusia untuk tidak menganggap dirinya sebagai penguasa alam, tetapi sebagai penjaga yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan merawat alam sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan yang menciptakan alam ini.
Kehidupan manusia modern saat ini tengah dihadapkan pada tantangan berupa perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Ada berbagai upaya untuk mengatasinya, mulai dari penegakkan hukum dan regulasi, edukasi dan pendekatan ilmiah, kampanye dan perubahan perilaku, dan tengah banyak dipelajari di dunia barat adalah adalah pendekatan agama dan nilai-nilai tradisi. Salah satu pendekatan tersebut adalah ekosufisme.
“Banyak persoalan lingkungan terjadi, karena ketidakmampuan manusia dalam memahami ilmu alam yang merupakan bagian dari Ilmu keTuhanan, seperti sifat air yang mengalir, tumbuh-tumbuhan yang berkembang untuk menghasilkan oksigen atau bahan makanan bagi kehidupan makluk hidup yang lain,” jelas Suwito.
Bertepatan dengan peringatan Dies Natalis Universitas Nasional ke-72 yang jatuh pada tanggal 15 Oktober 2021, Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional (PPI-Unas) mengadakan Kajian Jum’at #06 yang mengangkat tema mengenai Ekosufisme: Tasawuf dan Lingkungan Hidup dengan menghadirkan Dr. Suwito NS sebagai narasumber dan Dr. Hendra M. Saragih sebagai moderator.
Sebagai pengantar kajian, Ketua PPI Unas Dr Fachruddin Mangunjaya menyampaikan, pendekatan spiritual seperti tasawuf kini banyak diperbincangkan di kalangan ilmuwan karena terbukti pendekatan ilmiah dan logika serta penegakkan hukum ternyata belum cukup efektif dalam mengatasi berbagai persoalan persoalan lingkungan yang kini semakin komplek dan membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh dari berbagai disiplin ilmu.
Ekosufisme pertama kali dikembangkan Suwito pada tahun 2009-2011 ketika melakukan disertasi penelitian pada aktivitas yang dilakukan oleh jamaah di Masjid Aulia dan Pesantren Ilmu Giri di Gunung Kidul, Yogyakarta.
Berbeda dari kebanyakan tarekat tasawuf lainnya yang menjauhi kehidupan di dunia untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah, komunitas di pesantren dan masjid tersebut justru melakukan upaya-upaya pelestarian dan pemulihan lingkungan sebagai bentuk kecintaan dan kedekatannya kepada Sang Pencipta. Ketidaktahuan ini, kemudian mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang menyalahi hukum alam yang pada akhirnya menimbulkan dampak berupa bencana terhadap kehidupan manusia itu sendiri.
Revitalisasi doktrin-doktrin tasawuf Dalam merespons ragam bencana alam yang semakin mengkhawatirkan, para peminat dan praktisi tasawuf patut merekonstruksi doktrin-doktrin yang dinilai lebih produktif dalam merespon bencana alam yang terus terjadi. Tasawuf tidak melulu soal jalan sepi menuju Tuhan yang ditempuh dengan mahabbah (cinta), pensucian diri, menghadirkan rasa, dan soal taubat atau qana’ah dan sejenisnya.
Penganut tasawuf tidak boleh hanya mencukupkan hidup dengan ibadah ritual formal seperti berdzikir, shalat, puasa, berkhalwat, dan menjauh dari ingar-bingar kehidupan sedangkan dia sadar bahwa di hadapannya telah banyak menunggu problematika krisis lingkungan yang semakin kompleks dan mendesak untuk dipecahkan. Sufisme bukanlah pelarian bagi mereka yang tidak mampu menghadapi realitas sosialnya dan akhirnya mencari legitimasi religius untuk lari dari tanggung jawabnya.
Indonesia Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar secara global, Indonesia menjadi barometer perkembangan pemikiran dan peradaban dunia Islam. Oleh karena itu, peningkatan penelitian tentang pelestarian lingkungan berdasarkan nilai-nilai tasawuf merupakan salah satu pilihan yang mendesak. Hal ini sejalan dengan konsep neo-sufisme yang digaungkan oleh Fazlurrahman (Rahman, 2020) dan John O Voll, yang berusaha berdialog dengan para sufi kontemporer tentang teori sosial terkini (Van Bruinessen, 1994).
Dengan mengintegrasikan ajaran sufisme dalam konteks ekologi, diharapkan manusia dapat membangun kesadaran yang lebih dalam mengenai pentingnya menjaga keseimbangan alam. Ekologi sufisme tidak hanya menawarkan pendekatan praktis untuk melestarikan lingkungan, tetapi juga membawa nilai spiritual yang mendalam.
Melalui pandangan ini, ekologi bukan hanya menjadi tanggung jawab sosial atau ekonomi, tetapi juga menjadi perjalanan spiritual di mana manusia mendekatkan diri kepada Tuhan melalui kecintaan dan kepedulian terhadap alam. Ekologi sufisme pada akhirnya mengajak setiap individu untuk merawat alam dengan penuh cinta, sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian kepada Sang Pencipta.
(Ring-o)